Senin, 29 April 2013

ReCAAP and ReCAAP ISC


Nama : Dyah Retno W
NPM : 230210110055
Blogs : dyaretno.blogspot.com

 The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) dan  ReCAAP Information Sharing Centre (ISC)  

Bermula pada tanggal 11 November 2004 dari kesepakatan para pemerintah untuk mempromosi dan meningkatkan kerjasama melawan pembanjakan dan perampokan bersenjata di Asia dan mulai berlaku pada tanggal 4 September 2006. ReCAAP didukung oleh ISC yaitu ReCAAP Information Sharing Centre ( Pusat Berbagi Informasi) yang resmi diluncurkan di Singapura pada tanggal 29 November 2006 dan diakui sebagai organiasi internasional pada tanggal 30 Januari 2007. Terdapat 17 negara termasuk anggota dari (ReCAAP) yaitu Bangladesh, Brunei Darussalam, Denmark, RRC, India, Jepang, Korea, Laos, Myanmar, Belanda,Norwegia, Filipina, Singapura, Sri Langka, Thailand, Inggris dan Vietnam.
ReCAAP adalah kerjasama regional dalam memerangi pembajakan dan perampokan terhadap kapal di Asia. Perairan Asia yang cukup luas juga memiliki tingkat kejahatan yang cukup tinggi. Untuk mengurangi terjadinya perompakan ataupun pencurian pada kapal-kapal yang berlayar di perairan Asia maka dibentuklah ReCAAP. Selain itu banyak yang tidak mengetahui bahwa ReCAAP juga ikut menengahi beberapa permasalahan tentang perbatasan wilayah seperti pada persengketaan ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Namun pada dasarnya ReCAAP lebih fokus menangani kasus-kasus pencurian dan perompakan. Tercatat bahwa pada tahun 2012 terdapat 132 insiden, 2011 sebanyak 157 insiden, 2010 sebanyak 167. Hal ini menujukan sudah ada penurunan sebanyak 16 % di setiap tahunnya. Insiden sendiri dibagi menjadi tiga katagori yaitu :
  • Very Significant seperti perompakan dengan penggunaan senjata api.
  • Moderately Significant  ditandai dengan penggunaan senjata tajam.
  • Less Significant atau petty theft dimana pencuri mengambil barang incarannya dengan diam-diam lalu begitu dapat akan segera kabur.
Penurunan kejahatan setiap tahunnya menandakan berhasilnya metode yang digunakan oleh ReCAAP. Metode yang didukung dengan ReCAAP ISC yang memfasilitasi pertukaran informasi antara Focal Points melalui web dengan sister Information Network System (IFN) maka antara Focal Point ReCAAP saling dihubungkan begitu pula dengan ReCAAP ISC selama 24 jam penuh setiap harinya dan mampu memberikan respon yang tepat untuk suatu insiden.
            Badan menerima laporan insiden yang akan dikelola sesuai dengan kebijakan nasional dan prosedur tanggap dan memebrikan bantuan kepada korban secepatnya dimanapun tempatnya. Badan ini akan memberikan informasi ke ReCAAP Focal Point yang akan menyampaikan laporan insiden tersebut ke ReCAAP ISC dan Focal Point terdekat.
Sumber : www.recaap.org

Kamis, 18 April 2013

Hukum Internasional dan Negara yang hilang Zona maritim dan kriteria untuk status negara bagian Oleh Rosemary Rayfuse


Nama : Dyah Retno W
NPM : 230210110055
Kelompok 2



Perubahan iklim merupakan isu yang mengakibatkan berbagai permasalahan. Salah satunya adala adanya kenaikan permukaan laut. Sehingga bagi negara-negara kepulauan seperti Tuvalu, Kiribati, Kepulauan Marshall dan Maldive berada dalam ancaman karena dapat tenggelam dan menjadi Negara yang hilang. Daerah maritim sendiri diatur diatur dalam LOSC 1982, “Seluruh negara pesisir yang disebut sebagai daerah maritim,seperti : laut pedalaman, laut teritorial, ZEE, landasan kontinen, dan dimana keadaan geomorfologi ada dan perluasan daerah kontinental”.
Menurut LOSC garis dasar normal berada pada garis laut dangkal disepanjang pesisir yang ditandai dengan skala besar dan dikenal dengan wilayah pesisir untuk negara pesisir sedangkan untuk negara kepulauan penentuan garis dasar  diambil dari keberadaan terumbu karang pada laut dangkal. Ada teori yang bernama teori ambulatory, menurut teori ini dimana garis dasar itu melewati batas maka seluruh kawasan itu terpengaruh pada kenaikan permukaan laut. Menurut LOSC 1982 terdapat 2 pemikiran untuk menyelasaikan masalah daerah maritim yang terkena efek kenaikan permukaan waktu. Pemikiran pertama mengambil tindakan dari hukum internasional yang ada. Sedangkan pada pemikiran kedua memberikan pendapat dimana menolak teori ambulatory tentang garis dasar dan mengadopsi hukum positif baru dari hukum internasional yang membekukan hukum tentang garis dasar dan batas terluar.
Keberadaan suatu zona maritim bergantung pada eksistensi suatu negara. Apabila daerah teritorial itu hilang karena gelombang atau ombak maka kriteria terotorial tidak akan berlaku dan hak status daerah yang di klaim akan gagal. Isu dari daerah yang menghilang sudah ada sejak 1980, setiap tahun dibumbui dengan isu iklim dan pengungsi (penduduk Negara yang hilang) yang perlu dilindungi dari kenaikan permukaan laut.
Solusi sangat diperlukan diperlukan untuk melindungi hal-hak dari negara yang menghilang tersebut. Terdapat 3 solusi yang diajukan untuk menyelesaikan permasalahan Negara yang hilang. Solusi pertama diajukan oleh Soons adalah  negara yang menghilang dapat memiliki daerah teritorial baru dari negara yang jauh dengan perjanjian penyerahan daerah dimana kedaulatan atas penyerahan daerah akan menggantikan keseluruhan negara menghilan dan akan merelokasi penduduk ke daerah teritorial baru tersebut.  Namun pada kenyataannya sangat sulit bagi negara lain untuk setuju berapapun harganya untuk memberikan daerahnya pada negara lain kecuali bila daerah tersebut tidak berpenduduk, tidak layak didiami dan bukan milik perorangan, yang berhubungan dengan kebudayaan atau klaim lainnya.
Alternatif lain adalah bergabung atau bersatu dalam bentuk federasi dengan negara lain. Penduduk dari negara yang menghilang akan direlokasi ke daerah negara lain dan zona maritim akan tetap efektif. Tetapi tidak semua negara menerima penduduk direlokasi ke negara mereka, namun ada juga yang bersedia menerima dengan berbagai syarat. Seperti New Zealand dengan syarat hanya 75 orang pertahun yang masuk, mampu menerima tawaran kerja di New Zealand, dan berusia dibawah 45 tahun.
Pada akhirnya, solusi yang lebih memungkinkan adalah adanya kategori negara baru yaitu “the deterritorialised state”. Aplikasi konsep ini adalah diperikasanya konteks dari negara yang menghilang mengatur zona maritimnya. Hukum internasional sudah mengemukakan bahwa kekuasaan atas bangsa dapat dipisahkan dari daerah teritorial. Hukum international mampu memberi tanggapan atas masalah menghilangnya negara dimana penduduk tidak semakin terpojok sebagai korban, agar mereka tetap diakui walau mereka tidak memiliki daerah. Dalam konteks menghilangnya negara, deterritorialised terdiri dari pemerintah dan hak untuk bertindak yang dipilih oleh suara teregistrasi di negara teritorial. Hal ini sesuai dengan permintaan yang pernah diajukan oleh pemerintahan Tuvalu dan Maldines. Strategi perjanjian internasional pada pembekuan garis dasar menjadi kunci penting bagi negara yang menghilang untuk menggunakannya sebagia zona maritim. Peraturan di negara yang menghilang dianggap sama saja seperti negara biasa. Mengatur dan menjaga yang berhubungan dengan negara yang menghilang cukup rumit.
Bagaimanapun pembekuan garis batas dan persetujuan konsep serta parameter negara teritorial akan memberikan kepastian dan keamanan bagi negara-negara yang takut tergenang karena kenaikan permukaan laut dan memperbolehkan mereka untuk fokus pada tugas yang yang terus menerus mengenai perkembangan dan adaptasi kenaikan permukaan laut selama mereka bisa.


Rabu, 17 April 2013

Kaitan Cahaya dan Bunyi Terhadap Oseanografi Fisika




Cahaya adalah bagian dari gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang radio, infra merah, ultraviolet, sinar X dan sinar gamma. Cahaya bergerak dengan kecepatan kurang lebih  3 X 108 ms-1 dalam ruang hampa. Ketika di dalam air laut kecepatan cahaya berkurang menjadi 2,2 X 108 ms-1. Bila cahaya masuk ke dalam air maka intensitasnya akan berkurang secara eksponensial terhadap jarak dari titik sumber. Cahaya dapat diukur dengan menggunakan beberapa alat yaitu beam transmissometer, irradiance meter dan turbiditas meter atau nephelometer (Supangat, Agus dan Susanna,2003).
Semakin dalam suatu perairan tentunya semakin sedikit cahaya yang masuk. Lapisan laut dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan itensitas cahayanya.
1.      Daerah fotik yaitu daerah yang terkena cahaya matahari cukup untuk produksi fotosintesis. Biasanya mencapai kedalaman 200 m.
2.      Zona disphotic  yaitu daerah antara zona fotik dan afotik dimana cahayanya seperti senja di daratan. Daerah berada di kedalaman 200-1000m.
3.      Zona afotik yaitu daerah yang tidak terkena cahaya sehingga sangat gelap dan tidak cukup untuk produksi fotosintesis dan  memenuhi kebutuhan respirasi. Berada kedalaman lebih dari 1000 m.
Adanya pembiasan cahaya membuat suatu benda yang sama akan terlihat berbeda bila dilihat di darat ataupun di dalam air. Bentuk benda tersebut akan terlihat lebih besar di dalam air dibandingkan di darat. Hal ini terjadi karena cahaya yang tersebar ke arah mata tidak dapat terfokus untuk membuat suatu imej yang koheran (Supangat, Agus dan Susanna,2003).
Gambar 1. Penglihatan langsung bawah air
Sumber : Pengantar Oseanografi,2003.

Cahaya tak hanya bermanfaat bagi biota laut untuk fotosintesis namun cahaya juga dapat digunakan untuk komunikasi bawah laut serta penggunaan remote sensing pasif dan aktif karena sifat cahaya yang bergerak perlahan.Komunikasi bawah laut memerlukan radiasi yang dapat menembus cukup jauh di bawah permukaan sebelum energinya hilang oleh atenuasi. Hal ini menyebabkan komunikasi radio tidak dapat terjadi karenanya digunakanlah cahaya laser dari satelit  yang cukup kuat dan mampu menembus cukup jauh pada gelombang 450 -500 nm (biru-hijau).
Remote sensing aktif menggunakan transmisi pulsa radar dari satelit pada panjang gelombang tertentu lalu diukur dan dianalisis sinyal yang terrefleksikan oleh permukaan. Untuk mengetahui pola dan distribusi gelombang serta tutupan es. Remote sensing pasif menggunakan panjang gelombang visibel dan dekat infra merah yang direfleksikan dan juga radiasi panjang gelombang infra merah yang lebih panjang dan radiasi gelombang micro untuk memperoleh informasi tentang warna (dan produksi biologi dan kekeruhan), temperatur dan tutupan es di permukaan lautan. Selain itu juga memberikan informasi mengenai kekasaran permukaan akibat angin, gelombang, pasut dan arus dan tipe awan dan jumlahnya serta jumlah uap air di atmosfer (Supangat, Agus dan Susanna,2003).

Gambar 2. Diagram Remote Sensing



Bunyi atau suara
Suara adalah bentuk fisik dari adanya gelombang bunyi atau energi akustik. Bunyi merupakan bentuk tekanan gelombang dan terbentuk oleh vibrasi yang menghasilkan zona-zona alternatif kompresi (molekul- molekul saling merapat) dan rarefaksi (molekul-molekul saling menjauh). Gelombang bunyi dapat dikarateristik berdasarkan amplitudonya (pengukuran intensitas atau besarnya bunyi) dan frekuensi (f) atau panjang gelombang (λ, lambda), yang berhubungan dengan laju (c). Panjang gelombang energi akustik di laut sendiri berkisar antara 50 m dan 1 mm(Supangat, Agus dan Susanna,2003).
Gelombang ini termasuk gelombang mekanik yaitu memerlukan media perambatannya baik zat padat, cair ataupun gas. Jika dibandingkan dengan cepat rambat udara, di laut kecepatan rambatnya lebih cepat sebanyak 4 x lipat dibandingkan dengan cepat rambat di udara. Hal ini diakibatkan oleh partikel air laut yang lebih rapat dibandingkan dengan udara yang renggang. Sedangkan di darat cepat rambatnya paling cepat karena kerapatannya yang paling tinggi diantara media lainnya (Nugroho,Andry. 2011).
Gelombang bunyi lebih besar (frekuensi rendah) dibandingkan gelombang cahaya yang berarti resolusinya kurang; yaitu objek yang kecil yang dapat dibedakan (kira-kira tiga panjang gelombang) terlihat sangat besar. Frekuensi dan panjang gelombang secara terbalik saling proporsional dimana semakin tinggi frekuensi, semakin pendek gelombang dan sebaliknya. Untuk resolusi maksimum dengan sistem akustik bawah air, frekuensi tertinggi yang memungkinkan digunakan. Tetapi atenuasi tergantung pada frekuensi. Atenuasi paling tinggi pada frekuensi tinggi (gelombang pendek) dan rendah pada frekuensi rendah (gelombang panjang) (Nugroho,Andry. 2011).
Bagi hewan laut, bunyi merupakan hal yang sangat penting karena bunyi sangat baik perambatannya di air maka dapat digunakan untuk melacak objek tertentu dan transmisi informasi. Dengan mendengar bunyi hewan air dapat mencari mangsa ataupun berkomunikasi dengan hewan sejenisnya seperti paus. Selain itu adanya bunyi membuat kita dapat mengukur kedalaman serta pemetaan dasar laut, berkomunikasi dengan ikan dan mengetahui letak ikan. Adapun aplikasi bunyi di lautan dibagi menjadi 2 katagori utama yaitu :
1.      System akustik pasif
2.      System akustik aktif yang terbagi lagi menjadi
a.       SONAR (Sound Navigation And Ranging)
Berupa sinyal akustik yang diemisikan dan refleksi yang diterima dari objek dalam air (seperti ikan atau kapal selam) atau dari dasar laut. Digunakan sebagai dasar teknik echo-sounding untuk menentukan kedalaman dan pemetaan dasar laut bertambah maju dengan berkembangnya peralatan sonar seperti Sea Beam dan Hydrosweep yang merupakan sistem echo-sounding multi-beam.
b.      Telemetri dan Tracking
Lokasi dapat dikenali dan objek dilacak di laut jika dilengkapi dengan peralatan transmisi akustik. Ini adalah dasar teknologi Sofar (SOund Fixing And Ranging), digunakan secara meluas untuk tujuan militer seperti mencari lokasi kapal selam, pesawat terbang yang rusak dan kapal laut yang tenggelam.
c.       Pengukur arus
Bunyi dapat digunakan untuk mengukur kecepatan arus dengan mengeksploitasi Doppler effect dimana frekuensi bunyi yang diukur dipengaruhi oleh gerakan relatif antara sumber akustik dan titik pengukuran. profil akustik arus Doppler (ADCPs) digunakan untuk pengukuran kecepatan arus terhadap kedalaman yang kontinu dimana kapal dalam keadaan bergerak (Nugroho,Andry. 2011).
Gambar 3. Contoh dari SONAR
Sumber : woodshole.er.usgs.gov

Untuk menggunakan alat-alat diatas kita perlu mengetahui dengan pasti gelombang suara yang aman digunakan di dalam laut. Beberapa para biologi laut menyatakan bahwa volume tinggi (190 desibel) frekuensi rendah (60-90 Hz) bunyi dapat membahayakan ikan paus dan mamalia laut lainnya yang tergantung pada bunyi untuk komunikasi jarak jauh (Supangat, Agus dan Susanna,2003). Dengan demikian kita dapat melaksanakan penelitian tanpa menganggu sensor mamalia laut.

Sumber :
Nugroho,Andry. 2011. Sifat Fisika dan Faktor yang Mempengaruhi Suara di Laut. http://andrynugrohoatmarinescience.wordpress.com/2011/03/21/sifat-fisika-dan-faktor-yang-mempengaruhi-suara-di-laut/ diakses pada 16 April 2013.
Supangat, Agus dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Jakarta : Departemen Kelautan dan Perikanan.


Sumber gambar :
Gambar 1. Pengantar Oseanografi,2003.
Gambar 2. gpm.nasa.gov
Gambar 3. woodshole.er.usgs.gov